Mangrove Penyelamatku
Hutan mangrove atau
disebut juga hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya
di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan
lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran
yang mengakibatkan kurangnya abrasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami
daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang
bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat
khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Salah satu fungsi utama hutan bakau atau mangrove
adalah untuk melindungi garis pantai dari abrasi atau pengikisan, serta meredam gelombang besar termasuk
tsunami. Di Jepang, salah satu upaya mengurangi dampak ancaman tsunami adalah
dengan memasang Green Belt atau sabuk hijau hutan mangrove atau hutan bakau.
Sedangkan di Indonesia, sekitar 28 wilayah di Indonesia rawan terkena tsunami
karena hutan bakau sudah banyak beralih fungsi menjadi tambak, kebun kelapa
sawit dan alih fungsi lain.
Menghadapi
lingkungan yang ekstrem di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan berbagai
cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove menumbuhkan organ
khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula
bentuk-bentuk adaptasi fisiologis.
Pohon-pohon
bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar,
mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk
bertahan dari ganasnya gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar
napas (pneumatophore)
yang muncul dari pekatnya lumpur untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai akar
lutut (knee
root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar papan yang
memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya pohon di atas
lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya. Ditambah pula
kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memilikilentisel, lubang pori
pada pepagan untuk bernapas.
Untuk
mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui
kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle, mengembangkan sistem
perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap telah
hampir-hampirtawar,
sekitar 90-97% dari kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan
akar ini. Garam yang sempat terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang
bersama gugurnya daun.
Pada
pihak yang lain, mengingat sukarnya memperoleh air tawar, vegetasi mangrove
harus berupaya mempertahankan kandungan air di dalam tubuhnya. Padahal
lingkungan lautan tropika yang panas mendorong tingginya penguapan. Beberapa
jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan mulut daun (stomata)
dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga mengurangi evaporasi dari daun.
Adaptasi lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang
biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan
jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi
kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut
membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya.
Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki biji atau buah yang
dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan mengikuti arus air. Selain itu,
banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar: yakni biji atau benihnya
telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.
Contoh yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan
buah-buah bakau (Rhizophora), tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera).
Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa
tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh,
buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau
terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan.
Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan melancong ke tempat-tempat jauh.
Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul
pucuknya sementara masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan beberapa lainnya
telah pula berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah luarnya.
Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup
dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut dengan
istilah propagul.
Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak
laut hingga berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut
atau selat bersama kumpulan sampah-sampah laut
lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (dormant) berhari-hari bahkan berbulan,
selama perjalanan sampai tiba di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh menetap,
beberapa jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot bagian-bagian
tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul mengambang vertikal di air. Ini memudahkannya untuk
tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang berlumpur.
Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah
suksesi hutan (forest succession atau sere). Hutan bakau merupakan
suatu contoh suksesi hutan di lahan
basah (disebuthydrosere).
Dengan adanya proses suksesi ini, perlu diketahui bahwa zonasi hutan bakau pada
uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-lahan bergeser.
Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat)
yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat
substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul vegetasi mangrove, dan
mulailah terbentuk vegetasi pionir hutan bakau.
Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur.
Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut,
segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran
vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin
banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin meluas.
Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering dan
menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora
mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru
di bagian belakang.
Demikian perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh
hingga beratus tahun. Sementara zona pionir terus maju dan meluaskan hutan
bakau, zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian pedalaman yang mengering.
Uraian di atas adalah penyederhanaan, dari keadaan alam yang
sesungguhnya jauh lebih rumit. Karena tidak selalu hutan bakau terus bertambah
luas, bahkan mungkin dapat habis karena faktor-faktor alam seperti abrasi. Demikian pula munculnya
zona-zona tak selalu dapat diperkirakan.
Di wilayah-wilayah yang sesuai, hutan mangrove ini dapat tumbuh
meluas mencapai ketebalan 4 km atau lebih; meskipun pada umumnya
kurang dari itu.
Beraneka jenis tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi hanya
sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku,
yang dianggap sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang
ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di
luarnya.
Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia;
menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudera Hindia dan Pasifik.
Total jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove
ikutan, adalah 202 spesies (Noor dkk, 1999).
Sumber : wikipedia, picture by google image
0 comments:
Post a Comment